Meskipun
lisensi Fixed Wimax sudah dikantongi lima operator setahun lalu, namun sampai
saat ini baru First Media yang telah menjual layanan internet kecepatan tinggi
ini. Sementara beberapa operator mendesak Pemerintah segera menerbitkan lisensi
Mobile Wimax dan LTE. Betulkah teknologi 4G ini mendesak bagi masyarakat
Indonesia, lalu bagaimana Pemerintah dan operator menyikapinya.
WIMAX
Teknologi
Worldwide Interoperability for Microwave Access (Wimax) merupakan
kembangan dari teknologi Wi-FI yang sudah biasa kita gunakan sehari-hari, salah
satunya sebagai wireless pada komputer atau laptop. Secara umum dikenal
dua jenis Wimax, yaitu Wimax untuk jaringan tetap atau disebut Fixed Wimax
(standar IEEE 802.16d), dan Wimax untuk jaringan bergerak atau sering disebut
Mobile Wimax (standar IEEE 802.16e). Wimax mampu mendukung kecepatan transfer
data sampai 75 Mbps dengan jangkauan sampai 50 km. Dengan kemampuan inilah,
Wimax disebut sebagai jaringan generasi keempat (4G), meskipun sebetulnya
kemampuan ini belum memenuhi standar 4G yang ditetapkan IMT-Advanced, karenanya
teknologi Wimax lebih tepat disebut sebagai jaringan 3.9G.
Standar
Fixed Wimax pertama, yaitu 802.16, dipublikasikan April 2002, dan selanjutnya mengalami
berbagai pengembangan sampai dipublikasikannya standar 802.16d pada Januari
2004. Sedangkan Mobile Wimax dipublikasikan pada tahun 2005. Setelah publikasi
tersebut, Jerman segera mengalokasikan lisensi Wimax kepada tiga operator
nasional dan dua operator regional pada Januari 2006. Pada tahun yang sama,
Korea meluncurkan Wimax dan selama dua tahun telah mencatat pelanggan sebanyak
350.000. Amerika telah menerbitkan lisensi Wimax kepada banyak operator, antara
lain Sprint Nextel (Clearwire), Antelecom, AT & T Alaska, Xanadoo,
Towerstream, River Canyon dan Rainbow Broaddband. Operator Wimax dari Rusia,
Yota, saat ini tercatat sebagai penyelenggara jaringan Wimax terbesar di dunia.
Wimax Forum menyatakan bahwa pada Oktober 2010 Wimax telah digelar pada lebih
dari 592 jaringan di lebih dari 148 negara.
LTE
Teknologi
Long Term Evolution (LTE) merupakan standar terbaru teknologi jaringan
bergerak, sebagai kembangan dari GSM/EDGE dan UMTS/HSxPA. LTE mampu memberikan
kecepatan downlink hingga 100 Mbps dan uplink hingga 50 Mbps.
Untuk kepentingan komersial, LTE sering dipromosikan sebagai jaringan 4G,
meskipun seperti halnya Wimax lebih tepat disebut sebagai jaringan 3.9G.
Standar
LTE diterbitkan pertama kali pada Januari 2009, dan seterusnya dikembangkan menjadi
LTE Release 9 pada Desember 2009. Di bulan yang sama, 14 Desember 2009,
TeliaSonera meluncurkan LTE untuk pertama kalinya di Stockholm dan Oslo dengan
merek dagang NetCom. Penggelaran LTE selanjutnya dilakukan oleh Scartel di
Kazan pada 20 Agustus 2010, MetroPC di Las Vegas, Nevada, dan Dallas pada 21
September 2010, T-Mobile di Croatia pada 26 Oktober 2010 dan terakhir CSL di
Hongkong pada minggu terakhir Nopember 2010. Beberapa operator mengumumkan akan
komersial pada akhir tahun ini antara lain Safaricom Kenya, Verizon Amerika,
dan Pemerintah Thailand. Sedangkan AT & T Amerika dan Telenor Denmark
merencanakan rollout pada 2011.
Kompetisi
WIMAX Vs LTE
Pada
modulasi yang sama, Mobile Wimax Release 1.5 dan LTE Release 9 mampu mencapai
kecepatan maksimal yang relatif setara yaitu di atas 100/50 Mbps. Keduanya juga
mendukung lebar kanal yang sama 2 x 20 MHz, efisiensi specktral berkisar
1.59/0.64, menggunakan antara muka berbasis OFDMA -QPSK-64QAM. Mobile Wimax
mendukung mobilitas sampai 120 Km/jam, sedangkan LTE sampai 350 Km/jam. Mobile
Wimax telah merencanakan pengembangan menuju 802.16m, demikian juga LTE telah
merencanakan pengembangan menuju LTE-Advanced. Keduanya merupakan kandidat
jaringan 4G yang diharapkan mampu memberikan kecepatan 1 Gbps untuk pemakaian
tetap dan 100 Mbps untuk pemakaian bergerak.
Berdasarkan
perbandingan teknis tersebut, banyak analis menilai bahwa Mobile Wimax dan LTE
memiliki kinerja yang relatif sebanding. Keduanya juga sama-sama kandidat 4G,
sehingga keduanya dipastikan akan bersaing keras, sebagaimana persaingan GSM
dan CDMA. Hal yang membedakan adalah bahwa Wimax lahir sekitar dua tahun
mendahului LTE. Perbedaan lain, LTE berasal dari teknologi bergerak 2G/3G,
sedangkan Wimax berasal dari teknologi broadband Wi-FI. Perbedaan ini menjadi
penting, mengingat implementasi 2G/3G sudah meluas di seluruh dunia. Dengan
demikian penetrasi LTE dipastikan jauh lebih cepat dan masif dibanding Wimax,
meskipun teknologi tersebut lahir belakangan. Kasus Korea membuktikan, ketika
Wimax dan HSPA diluncurkan dalam waktu yang relatif bersamaan, dalam dua tahun
pelanggan Wimax tercatat 350 ribu sementara HSPA mencapai 8.4 juta. Hal ini
disebabkan karena pemakai Wimax adalah pelanggan baru, sedangkan pemakai HSPA
adalah upgrade pelanggan 2G/3G.
Hampir
bisa dipastikan bahwa operator 2G/3G akan mengadopsi LTE untuk roadmapnya
menuju 4G. Bahkan Yota Rusia dan Sprint Amerika, sebagai operator Wimax
terkemuka, telah mengumumkan rencananya untuk mengadopsi LTE. Lalu, bagaimana
dengan nasib Wimax?. Wimax sangat relevan diadopsi oleh operator fixed
broadband, baik untuk memperkuat jaringan akses ke segmen ritel atau pun
untuk backhaul, backbone, atau jaringan rural.
Sejauh
ini penggelaran fixed broadband tertinggal jauh dibanding 2G/3G. Jumlah
fixed broadband baru mencapai 500 juta, sementara 2G/3G telah mencapai 4.5
miliar dengan pemanfaatan mobile broadband mencapai 536 juta. Dengan adopsi
teknologi Wimax, kini operator fixed broadband mendapat angin segar dan harapan
baru untuk berkompetisi dengan operator 2G/3G. Karena dengan Mobile Wimax,
mereka mampu memberi layanan yang sepadan dengan LTE Advanced yang kemungkinan
bakal di adopsi oleh 2G/3G.
Implementasi
di Indonesia
November
2009, Pemerintah Indonesia menetapkan pemenang tender lisensi Fixed Wimax untuk
15 zona secara nasional. Pada Agustus 2010, tinggal lima opertor yang berhak
mengantongi lisensi tersebut, yaitu Telkom, Indosat Mega Media, Berca, Jasnita
dan First Media. Dari lima operator tersebut, baru First Media yang telah
menggelar Fixed Wimax secara komersial di wilayah Jabotabek dengan merek dagang
Sitra. Sebenarnya Berca sudah menggelar jaringan di berbagai kota bahkan telah
mengumumkan merek dagang WiGO, namun sayang uji laik operasi (ULO) belum
diterbitkan Pemerintah karena alasan kelengkapan administrasi. Telkom dan
Jasnita telah mengajukan permohonan penundaan ULO selama setahun ke depan,
sedangkan Indosat beberapa waktu lalu juga menyatakan belum siap dalam waktu
dekat. Beberapa operator mengusulkan agar Pemerintah segera menerbitkan lisensi
untuk Mobile Wimax, mengingat teknologi Fixed Wimax dan Mobile Wimax tidak
saling kompatibel, sehingga resiko bisnisnya relatif besar.
Langkah
First Media yang buru-buru menggelar Wimax sangat tepat. Sebaliknya, sangat
disayangkan, Telkom terlambat menggelar jaringan Wimax. Karena sejatinya, yang
paling diuntungkan oleh lisensi Wimax adalah operator fixed broadband, yaitu
Telkom dan First Media. Bagi keduanya, Fixed Wimax akan memperkuat posisi dan
teknologi mereka sebagai operator fixed broadband. Jika kelak mereka juga
mengantongi lisensi Mobile Wimax, tentu saja mereka menjadi semakin kokoh,
karena akan mampu berkompetisi lebih sepadan dengan para operator seluler yang
mungkin menggelar layanan mobile broadband dengan LTE.
Bagi
Berca dan Jasnita, Fixed Wimax tentu saja menjadi tantangan. Jika target mereka
adalah segmen korporasi dan rural, Fixed Wimax menjadi relevan. Namun jika
target mereka adalah segmen ritel, sebaiknya mereka mengadopsi Mobile Wimax,
karena Fixed Wimax bakal menjadi tantangan yang sangat berat.
Bagi
Indosat, lisensi Wimax menjadi tanda tanya. Meskipun Indosat mempunyai fixed
broadband, namun market share kurang signifikan, dan terkesan tidak
serius. Dengan 40 juta pelanggan, Indosat sangat kuat posisinya sebagai
operator seluler. Dengan kondisi ini, lebih baik bagi Indosat untuk mengadopsi
LTE.
Seperti
halnya Indosat, pilihan yang lebih baik bagi para penyelenggara HSxPA seperti
Telkomsel, XL Axiata, Three dan Axis adalah LTE. Sejak Agustus 2010 lalu,
Telkomsel bersama ZTE telah melakukan uji coba LTE di beberapa kota. Demikian
juga dengan XL yang sudah mengumumkan kesiapannya untuk uji coba LTE. Sejauh
ini Indosat, Three, Axis dan operator seluler lainnya belum menyampaikan
rencana untuk menggelar LTE.
Peran
Penting Pemerintah
Lisensi
Fixed Wimax telah dikantongi lima operator. Bagi Telkom dan First Media lisensi
tersebut menjadi berkah, bagi Berca dan Jasnita menjadi pekerjaan rumah,
sedangkan bagi Indosat menjadi pertanyaan. Baru-baru ini Pemerintah menyatakan
sedang mengevaluasi lisensi Mobile Wimax, sedangkan LTE akan dikaji lebih
lanjut pada 2012.
Haruskah,
kapankah lisensi Mobile Wimax dan LTE perlu diterbitkan?. Untuk Mobile Wimax,
sejatinya Pemerintah punya opsi untuk tidak menerbitkan. Paling tidak ada
beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, Mobile Wimax dan LTE memberikan
layanan dan kinerja yang relatif sama bagi pengguna. Kedua, Mobile Wimax dan
LTE bersaing satu sama lainnya, bahkan TD-LTE berpotensi membunuh Wimax, karena
pemakaian spektrum yang sama. Ketiga, spektrum frekuensi relatif terbatas.
Keempat, menjaga iklim industri yang kondusif. Jumlah operator seluler di
Indonesia sudah terlalu banyak. Jika semuanya menggelar LTE, selanjutnya
ditambah operator Mobile Wimax, maka penyelenggara 4G bakal semakin banyak. Meskipun
kondisi ini sering menguntungkan pengguna karena harga yang kompetitif, namun
hal ini cenderung merugikan operator, mengingat investasi 4G relatif besar.
LTE menjadi jalur mandatori menuju 4G bagi
penyelenggara GSM/HSxPA, karenanya lisensi LTE bersifat mandatori pula. Namun
demikian Pemerintah punya opsi mengatur kapan waktu yang tepat untuk
menerbitkan lisensi LTE. Pilihan yang lebih baik adalah menunda lisensi
tersebut untuk beberapa tahun mendatang, dengan alasan. Pertama, Standar
teknologi LTE Release 9 baru di diumumkan Desember 2009. Karena umur yang
relatif muda, adopsi teknologi LTE masih terbatas, sehingga teknologi maupun
handset pengguna masih langka dan harganya mahal. Sebagai perbandingan,
teknologi 2G diadopsi Indonesia setelah berumur 4 tahun, 3G diadopsi setelah 5
tahun, dan Wimax diadopsi setelah 5 tahun. Kedua, Penetrasi 3G masih relatif
terbatas. Penetrasi 3G memang terbilang lambat. Tidak hanya di Indonesia,
fenomena ini juga terjadi di negara lain. Sebuah riset di India menyatakan
hanya 20% pelanggan berminat menggunakan 3G dalam waktu dekat, sementara dari
842 juta pelanggan ponsel di China pemakaian 3G belum mencapai 10 persen.
Konsekuensi kelambatan penetrasi 3G antara lain: ROI operator belum maksimal;
masyarakat belum berpengalaman menjelajahi mobile broadband; spektrum frekuensi
belum terpakai secara optimal